ASIANUSA singkatan dari ASOSIASI INDUSTRI AUTOMOTIF NUSANTARA dimana anggotanya terdiri dari produsen 'Micro Car' dan Mesin Penggerak di seluruh Indonesia.



Kapan Mobnas Jadi Pilihan Kita?

foto:edo
GAUNG mobil nasional (mobnas) belakangan ini terdengar lagi. Padahal, kita semua tahu, cita-cita mempunyai mobnas sudah mencuat sejak tahun 1970-an. Tapi mana buktinya?

Harian Investor Daily, edisi Senin (9/1/2012) menulis, isu pengembangan mobnas sesungguhnya mencuat sudah lama. Paling fenomenal adalah kiprah PT Timor Putra Nusantara (TPN) yang membesut mobil bermerek Timor pada 1996. Selain terganjal oleh runtuhnya rezim orde baru (Orba) pada 1998, proyek mobnas Timor yang memakai mesin Korea Selatan itu, dibayang-bayangi oleh langkah Jepang yang mengadukan kasus Timor ke badan perdagangan dunia (WTO).

Pengamat transportasi Instran, Darmaningtyas menduga, lobi-lobi seperti itu bukan mustahil masih ada pada saat ini. Tentu saja terkait dengan gurihnya pasar Indonesia. Sepanjang 2011 saja sedikitnya 893 ribuan unit mobil menggerojok pasar. Nyaris seluruhnya produk yang berprinsipal di luar negeri. “Jelas ada lobi-lobi mereka, melalui berbagai cara, misalnya, membangun citra kualitas mobnas tidak bagus. Walau, disisi lain, Indonesia belum siap,” ujarnya.

Dia memprediksi, jika mobnas hanya dipakai oleh kalangan pejabat saja, tidak bakal menemui ganjalan berarti. “Tapi kalau mau dipasarkan secara miasal akan terhambat oleh pencitraan yang dibuat seolah mobnas tidak bagus,” kata dia.

Kekuatan lobi perusahaan berprinsipal asing tersebut berimbas pada kebijakan sektor otomotif yang tidak menggairahkan mobnas. Bahkan, di sisi lain, cenderung mendorong pemakaian kendaraan pribadi dan mengabaikan transportasi publik. Ekor persoalan pun memunculkan problem lain, kecelakaan lalu lintas jalan. Sekitar 86 jiwa tewas setiap hari di Indonesia akibat kecelakaan.

foto:google/isitmewa
Menurut Ketua bidang Pemasaran dan Komunikasi Asosiasi Industri Otomotif Nusantara (Asia Nusa) Dewa Yuniardi, industri mobil nasional (mobnas) terganjal oleh kebijakan dan masih menjadi anak tiri dalam struktur industri di Indonesia. Kebijakan sektor otomotif di Indonesia masih mengacu pada agen tunggal pemegang merek (ATPM). Akibatnya, sektor otomotif nasional masih terbatas pada perakitan, belum mencapai tahap industri. Kategori mobnas berarti buatan industri yang prinsipalnya adalah investor dalam negeri.

Kita tahu, hampir semua produk mobil yang merajai jalan-jalan di Indonesia memiliki prinsipal asing. Principal asal Jepang paling dominan, seperti Toyota, Daihatsu, Honda, Mitsubishi, dan Nissan. Selain itu, prinsipal asal Asia lainnya berasal dari Korea Selatan dan China. Sedangkan principal asal Eropa dan Amerika Serikat juga ikut nimbrung.

Pasar mobil kita cukup legit loh. Bayangkan, pada 2011, terjual sekitar 893 ribuan unit. Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tren penjualan mobil di Indonesia terus bertumbuh setiap tahunnya. Dalam rentang 2007-2011, rata-rata per tahun bertumbuh sekitar 26%.

Volume penjualan mobil sempat anjlok hampir sekitar 20,11% pada 2009. Namun, langsung tancap gas pada 2010, yakni sekitar 57,25%. Pertumbuhan tahun 2010 merupakan yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir.

Saat ini, mencuat kembali isu mobnas setelah Walikota Solo Joko Widodo mempopulerkan mobil Esemka, karya siswa-siwa SMK di Solo. Selain itu, ada mobnas Komodo (PT Fin Komodo), Tawon (PT Sumber Gasindo Jaya), GEA (PT INKA), ARINA (UNS Semarang), MOBIRA (PT Sarimas Ahmadi Pratama), dan Mahator (PT Maha Era Motor).

Memang tidak mudah membangun industri otomotif mobil. Kata Dewa, membangun industri otomotif membutuhkan modal besar. “Setidaknya hampir Rp 1 triliun untuk memproduksi 10 ribu unit agar tidak merugi,” ujarnya.



Di tengah itu semua, sebagai konsumen, kerap ada kebanggaan semu atas produk negeri sendiri. Konsumen kita banyak yang suka buatan luar negeri, karena itu, produk dalam negeri sering menjadi pilihan kedua. Walau, tak sedikit juga yang menyukai produk domestik. Hanya saja, sering dikecohkan oleh informasi bahwa kualitas produk dalam negeri kalah dengan produk luar negeri. Apa iya semuanya begitu? (edo rusyanto)

Asean Car: Business Should Be in the Driver’s Seat and National Interest in the Backseat

In the last 30 years, a lot has changed. The sale of motor vehicles in Southeast Asia was at 3.2 million in 2014, according to Asean Automotive Federation. Indonesia, with consumers moving from motorcycles to cars with the increase in buying power, accounted for 38 per cent of total motor vehicle sales in the region in 2014. Asean is now the fifth largest car market in the world.
Motor Vehicle Sales AseanMotor Vehicle Production Asean


“Even if the Asean car is sold only in the Indonesian market, that is good enough. No need to worry about exporting to other Asean countries for now,” he told The Establishment Post when asked about the sustainability of the business. Malaysia has the largest car ownership per capita number in the region with 336 vehicles per 1,000 people. Indonesia has 52 but the potential to grow is great.

Car Market Share in Malaysia 2013 2014
The idea of having an Asean car came in the 1980s when then prime minister Tun Dr Mahathir Mohamad wanted to expand the market for the Malaysian national car Proton and extend its winning streak to the region. But the Southeast Asian market at that time was not a strong passenger car market. Thailand and Indonesia were very much a motorcycle and pick-up truck market. The only country that had a strong passenger car market was Malaysia.

Now is probably the right time for an Asean car. Talk of such a car resurfaced during Malaysian Prime Minister Dato’ Sri Mohd Najib Tun Razak’s visit to Jakarta in October last year. He was reported to have said: “This means Proton and Indonesia will launch the Asean car as a viable project after in-depth studies.”

Indonesian market is big enough

Motoring journalist Yamin Wong says Asean car is a good idea but it needs to be executed fast so as to revitalise Proton Holdings Berhad, which has been seeing a steady dip in car sales over the years. In 2013, Proton had a 21.2 per cent market share and that reduced to 17.4 per cent in 2014. This is a far cry from the 1990s when Proton was controlling 80 per cent of the market.

Total vehicle sales in Malaysia is believed to be reaching saturation point but the Malaysian Automotive Institute believes that for 2015, car sales will increase to 700,000-750,000. Analysts say the growth will be in the non-national car segment. Proton and Perodua are the two national cars.

“Proton needs a partner that can give high volume and the Indonesian market has high volume. Indonesia has a huge domestic market, like the US,” says Mr Wong, editor of Car, Bikes and Trucks, a motoring supplement in the New Straits Times. He has been a motoring journalist since 1980.

The high volume also will allow Proton to reduce its car price in the economies of scale. “The cost of R&D for Proton is high, running into millions. If the volume is bigger, then the cost can be brought down,” he says. This will give the Asean car the edge it needs to fight off competition from car makers who already have a huge share of the market like Toyota-Daihatsu and Honda. Mr Wong dismisses the possibility of any kind of collaboration with the major players in the region because they already have a lion’s share of the market in Indonesia.

It will not be easy for Proton to make its mark in the Indonesian market. According to a report by the Association of Indonesian Automotive Industries, in 2013 Proton sold 1,088 units in Indonesia, which accounts for 0.1 per cent of the market share. In 2014 Proton only sold 523 units.

Manufacturing licence is an issue

Dewa Yuniardi, automotive industry observer and communication chief of the Indonesia’s Archipelago Automotive Industry Association, predicts that even after the partnership with PT. Adiperkasa, Proton will continue to struggle in Indonesia. He says this is mainly because Proton relies heavily on manufacturing licences bought from other producers and do not really have the platform to develop its products. PT Adiperkasa, a private company backed by the Indonesian government, is working with Proton on developing the Asean car.

“Proton will find it hard to compete in the Indonesian market if they rely on those existing licenses because here there are so many other products here that are more dynamic,” Mr Yuniardi tells The Establishment Post. Proton bought licences from Japanese giants Mitsubishi, which means that the Malaysian firm is granted Mitsubishi’s technical assistance and patents solely for the purpose of developing a “licenced product” to be sold under Proton’s trademark and styling.

“If you only buy licences, it is very hard to develop the product. This is because you do not master the engineering philosophy, and if you do try to modify too much, you can be sued by the owner of the licence,” he adds. Mr Yuniardi explained that in order for Proton to do well in Indonesia, as well as other Asean countries, it must either change the way it operates or continue to buy more licences more frequently.

“The automotive industry is so dynamic, it moves so quickly. Car producers change models and types almost every other month. Japan and Korea dominate the industry because they hold their own licences. Korea even have their own design centre,” he says.

Challenges for Asean car

Mr Wong says the Asean car manufacturer needs to be able to study the market well, know how the market will develop in the next few years and employ strong business practices. “They must build cars that people will want to buy in five years and not make cars for the present market. Also, what the Indonesian market wants are small cars and small MPVs. These are some of the factors they must consider.”

While Malaysia can look forward to an exciting Asean car project through the partnership with PT Adiperkasa, Mr Yuniardi believes, it is the same old story for Indonesia. Indonesia has always been a production base and market base for foreign automotive producers.

This, according to Mr Yuniardi, is down to Indonesia’s lack of appreciation of technology. “The most important technology is the technology to design, not the technology to produce, which is very easy. Indonesia has focused too much on production and so after over 60 years of automotive industry in Indonesia, we’ve only got experience in producing.” Mr Yuniardi adds that the only real benefit Indonesia can gain from the partnership with Proton is that it will open more jobs for Indonesians.

Then there is the baggage that Proton needs to shed: protectionism and preferential policies. The idea to expand Bumiputra participation in Proton production was noble but this resulted in poor quality products and weak component reliability, which continues to nag Proton and attempts to address this have had little success. [See: Malaysia’s national car driving into a dead end: Not many options left for Proton]

It will not be easy to compete against Japanese car makers who have had a strong presence in the region for the past 40 years but the Asean car project needs to be run as a commercially driven business with national interests taking a backseat.

 * This article was jointly written by Vanitha Nadaraj and Ardi Wirdana

Thank you for reading The Establishment Post. Permission to reproduce material under the "fair use" principle is granted PROVIDED a link to the original source material is included with the cited material. 


The Establishment Post maintains © ownership on
Follow us: @EstabPost on Twitter | TheEstablishmentPost on Facebook

Daftar Peraturan Pemerintah untuk Kendaraan Bermotor

Kebijakan Kementerian Perindustrian
  1. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 69/M-IND/PER/7/2011 Tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menperin No. 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang dan Bahan Produksi Dalam Negeri Untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal
 
 KEBIJAKAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
  1. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 63/M-DAG/Per/12/2009 Tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru
  2. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 17/M-DAG/PER/3/2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Importir (API) 
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/2010 Tentang Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Untuk Barang Ekspor Indonesia
  4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17/M-DAG/PER/3/2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Impor (API) 
  5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/12/2010 Tentang Ketentuan Barang Modal Bukan Baru 
  6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 62/M-DAG/PER/12/2009 Tentang Kewajiban Pencantuman Label Pada Barang
 
 Kebijakan Kementerian Keuangan
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.011/2010 Tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa Guna Kepentingan Umum dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor tertentu Untuk Tahun Anggaran 2010
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261.PMK.011/2010 Tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan UntukmemrproduksiBarang dan/atau Jasa Guna Kepentingan Umum dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun Anggaran 2011
 

Mau Majukan Mobnas, Cukup Promosikan Mobil Lokal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Ketua Asosiasi Industri Automotif Nusantara (Asia Nusa) Ibnu Susilo menyampaikan, mewacanakan industri mobil nasional tetapi menggandeng pihak asing adalah salah kaprah. Menurut dia kerjasama antara Proton dan PT Adiperkasa Citra Lestari hanya salah satu dari sekian banyak pembukaan pabrik mobil asing di tanah air.

Menurut Susilo, selama ini, pemerintah hanya berwacana soal pembangunan industri mobil nasional. Padahal, menurut dia, beberapa perusahaan mobil telah dibangun oleh anak bangsa. 

Sebenarnya tak terlalu sulit untuk membangun mobnas di dalam negeri.“Cukup mempromosikan agar masyarakat Indonesia membeli produk mobil nasional,” ujar Susilo kepada ROL, Senin (9/2).

Salah satu mobil karya anak bangsa, menurut Susilo, adalah Fin Komodo. Mobil segala medan yang cocok untuk geografis Indonesia tersebut, menurut dia, saat ini terus berkembang, meskipun tanpa bantuan pemerintah.

Ia mencontohkan, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa membeli Fin Komodo akan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat Indonesia. “Yang akan pintar dan sejahtera adalah peneliti kita, teknisi kita, vendor kita. Yang masyarakat sadar, regulasi itu bisa menyusul,” ujar dia.

Susilo melaporkan, mobil yang diproduksi di Cimahi tersebut penjualannya terus meningkat. “Tahun 2013, kami menjual 80, tahun 2014, 120,” ujar Susilo yang juga Presiden Direktur Fin Indonesia Teknologi.

Giliran industri lokal menyoal mobil nasional

JAKARTA- Kontan.co.id. Kontroversi kerjasama produsen mobil Malaysia, Proton dengan PT Adiperkasa Citra Lestari milik A.M. Hendpropriyono untuk mengembangkan mobil nasional berlanjut. Kali ini, protes datang dari pelaku bisnis mobil nasional.

Ketua Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asianusa) Ibnu Susilo bilang, mobil nasional adalah mobil yang dibikin oleh perusahaan yang sahamnya 100% dimiliki lokal. "Proyek juga harus dikerjakan dan dirakit oleh insinyur nasional," ujar Ibnu ke KONTAN, Senin (9/2).

Kerjasama Adiperkasa dengan Proton membuat pabrik mobil nasional, ada kemungkinan, kepemilikan saham didominasi prinsipal, yakni Proton. Apalagi, proyek itu dikerjakan perusahaan berbeda negara. "Proyek ini tak beda dengan produsen mobil lain di Indonesia," ujarnya.

Kerjasama itu juga tak ubahnya kerjasama antara Astra Group dengan Toyota, atau Salim Group dengan Suzuki. Mereka sebatas mengejar pasar mobil di Indonesia yang setahun mencapai 1,2 juta, bahkan berpotensi bisa bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Alhasil, kata Ibnu, industri mobil nasional kian mendapat banyak pesaing. Lihat saja, anggota Asianusa. Asianusa semula punya tujuh anggota yang memproduksi mobil lokal dengan merek: Fin Komodo, Tawon, GEA, Wakaba, Boneo, Kacil, dan Mesin ITM. Lantaran kalah bersaing, "Yang tersisa Fin Komodo dan Gea. Yang lain, mati suri" ujar Ibnu masygul.

Meski program mobil nasional ideal, Menteri Perindustrian Saleh Husin bilang, pemerintah tak memiliki program mobil nasional tahun ini. Kerjasama Proton dan Adiperkasa adalah kerjasama bisnis. Proyek mobil mantan komandan Badan Intelijen Negara (BIN) bukan proyek nasional.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago juga memastikan, proyek mobil nasional tak masuk d Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Oleh karena itu, kata Panggah Susanto, Plt Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemperin, pemerintah tak akan memberikan perlakuan khusus ke mereka. Apalagi, industri otomotif yang menyebut lokal faktanya juga mengimpor bahan baku.

Agar tak rancu, Budi Nur Mukmin General Manager Marketing Communication & Product Planning Nissan Motor Indonesia menyarankan, pemerintah memiliki kriteria mobil nasional. Misal, "Apakah mobil diproduksi dan berbahan baku lokal, serta harus didesain orang lokal," ujarnya. Dengan begitu, kerancuan akan hilang.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Dewa Yuniardi - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan