Kebanyakan masyarakat Indonesia
lebih mencintai produk buatan asing. Apalagi dalam bidang otomotif,
mayoritas mobil di Indonesa didominasi oleh negara Jepang. Sabtu (6/10),
Unit Penyelenggara Mata Kuliah Sosial Humaniora (UPM Soshum) menggelar
kuliah tamu technopreneur. Secara khusus, Ibnu Susilo, Direktur PT Fin
Komodo Teknologi mengupas tentang memulai bisnis dengan inovasi
teknologi.
Pusat Robotika, ITS Online - Potensi dalam negeri
memang sepatutnya diutamakan. Namun, faktanya, saat ini kebanyakan warga
negara Indonesia tidak bangga dengan produknya sendiri. Hal itulah yang
dirasakan oleh alumni Jurusan Teknik Mesin ini. Sehingga, ia tetap
mendirikan sebuah perusahaan mobil asli Indonesia yang ia beri nama
Formula Indonesia (Fin).
Produk yang ingin ia kembangkan yakni mobil dengan konsep jip senyaman sedan. Yaitu, mobil sedan yang dapat melakukan atraksi off road. Bahkan, dapat tetap stabil walaupun kemiringannya mencapai 90 derajat. ''Dulu awalnya saya ditertawakan bank saat menyampaikan ide itu,'' pungkasnya.
Perusahaan tersebut, lanjutnya, sebisa mungkin memanfaatkan potensi dalam negeri. Sehingga ia menggunakan insinyur dalam negeri pada setiap prosesnya. Hal tersebut tidak lain agar keuntungan dari perusahaan tidak jatuh lebih besar ke tangan asing. Sebab, mayoritas perusahaan di Indonesia, hampir 70 persen, keuntungannya jatuh ke tangan asing. ''Indonesia hanya mendapatkan sisa 30 persen,'' ujarnya.
Budaya teknologi di Indonesia cenderung berbeda dengan di negara lain. Korea misalnya. Di sana, setiap satu jam sekali baru dapat ditemukan mobil buatan Jepang atau negara lain. Produk mobil domestik Korea hampir menguasai pasar di negaranya sendiri. ''Dengan begitu, sebuah negara tidak akan mudah terintervensi oleh negara lain,'' kata Ibnu.
Menurut Ibnu, selama ini bangsa Indonesia cenderung ditekan oleh orang asing dan menjadi tidak berkembang. Misalnya, pabrik mobil di Indonesia kebanyakan hanya sebatas komponen saja. Jika Indonesia terus menerus membuat komponen, maka selamanya hanya akan menjadi pembuat komponen. ''Kita hanya terus menjadi ekor,'' paparnya.
Sejak pertama kali memasukkan mobil buatannya ke Indonesia, Jepang pernah berjanji akan melakukan transfer teknologi kepada engineer di Indonesia. Namun, kenyataannya Jepang tidak pernah melakukannya hingga sekarang. Menurut Ibnu, kini tidak ada lagi taktik yang bernama transfer teknologi. ''Rebut teknologinya dan kita buat sendiri di Indonesia,'' tandasnya cukup yakin.
Selain itu, Ibnu mengatakan bahwa pola pikir industri di Indonesia kebanyakan hanya sampai pada level pabrik. Sekedar memproduksi sesuatu secara massal tanpa adanya inovasi. Bahkan, kini kebanyakan mimpi para pemuda Indonesia adalah bekerja di perusahaan asing.
Padahal, di sana praktis mereka menjadi bawahan orang-orang asing. ''Jadilah creator engineer, sehingga kini giliran kita membawahi insinyur asing,'' tandasnya berpesan kepada para mahasiswa pengambil mata kuliah technopreneur yang turut serta. (fin/esy)
Produk yang ingin ia kembangkan yakni mobil dengan konsep jip senyaman sedan. Yaitu, mobil sedan yang dapat melakukan atraksi off road. Bahkan, dapat tetap stabil walaupun kemiringannya mencapai 90 derajat. ''Dulu awalnya saya ditertawakan bank saat menyampaikan ide itu,'' pungkasnya.
Perusahaan tersebut, lanjutnya, sebisa mungkin memanfaatkan potensi dalam negeri. Sehingga ia menggunakan insinyur dalam negeri pada setiap prosesnya. Hal tersebut tidak lain agar keuntungan dari perusahaan tidak jatuh lebih besar ke tangan asing. Sebab, mayoritas perusahaan di Indonesia, hampir 70 persen, keuntungannya jatuh ke tangan asing. ''Indonesia hanya mendapatkan sisa 30 persen,'' ujarnya.
Budaya teknologi di Indonesia cenderung berbeda dengan di negara lain. Korea misalnya. Di sana, setiap satu jam sekali baru dapat ditemukan mobil buatan Jepang atau negara lain. Produk mobil domestik Korea hampir menguasai pasar di negaranya sendiri. ''Dengan begitu, sebuah negara tidak akan mudah terintervensi oleh negara lain,'' kata Ibnu.
Menurut Ibnu, selama ini bangsa Indonesia cenderung ditekan oleh orang asing dan menjadi tidak berkembang. Misalnya, pabrik mobil di Indonesia kebanyakan hanya sebatas komponen saja. Jika Indonesia terus menerus membuat komponen, maka selamanya hanya akan menjadi pembuat komponen. ''Kita hanya terus menjadi ekor,'' paparnya.
Sejak pertama kali memasukkan mobil buatannya ke Indonesia, Jepang pernah berjanji akan melakukan transfer teknologi kepada engineer di Indonesia. Namun, kenyataannya Jepang tidak pernah melakukannya hingga sekarang. Menurut Ibnu, kini tidak ada lagi taktik yang bernama transfer teknologi. ''Rebut teknologinya dan kita buat sendiri di Indonesia,'' tandasnya cukup yakin.
Selain itu, Ibnu mengatakan bahwa pola pikir industri di Indonesia kebanyakan hanya sampai pada level pabrik. Sekedar memproduksi sesuatu secara massal tanpa adanya inovasi. Bahkan, kini kebanyakan mimpi para pemuda Indonesia adalah bekerja di perusahaan asing.
Padahal, di sana praktis mereka menjadi bawahan orang-orang asing. ''Jadilah creator engineer, sehingga kini giliran kita membawahi insinyur asing,'' tandasnya berpesan kepada para mahasiswa pengambil mata kuliah technopreneur yang turut serta. (fin/esy)
Sumber: www.its.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar