Jokowi dan Esemka Rajawali |
Solo memberikan
kejutan manis pada awal tahun kemarin. Joko Widodo, sang walikota,
mengumpulkan wartawan di tempatnya berkantor pada 2 Januari lalu dan
memperkenalkan mobil dinas terbarunya. Dengan bangga ia berpose di depan
mobil anyarnya itu. Merek mobil itu Esemka Rajawali. Dan sebagaimana si
walikota, mobil itu aseli kelahiran Solo.
Sontak
kehadiran Esemka membesut perhatian. Mobil ini pun kemudian
disebut-sebut sebagai momen untuk membangkitkan kembali gairah memiliki
mobil nasional atau mobnas. Jokowi, sapaan akrab Joko Widodo, bahkan
bersemangat sekali mendukung Esemka. “Nantinya Esemka dibangun lewat
Usaha Kecil Menengah (UKM),” katanya kepada Prioritas. Ia pun siap
menampik seandainya ada investor asing yang berniat mencaplok Esemka.
“Harus modal dalam negeri.”
Esemka
Rajawali adalah mobil dengan kapasitas mesin 1.500cc. Pengerjaannya
dibuat oleh siswa SMK. Mobil ini berkapasitas lima sampai tujuh orang,
setara dengan kebanyakan mobil dinas yang sering digunakan berbagai
instansi pemerintah. Dilengkapi dengan sistem central lock, audio, power
window, AC, dan sensor parkir. Hanya saja, di bagian mesin ada beberapa
komponen yang sampai saat ini masih harus impor dari Cina. Mobil yang
dibanderol Rp75 juta ini pun telah memiliki Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), yakni PT. Solo Manufaktur Kreasi (SOMAN).
Jika
mau merujuk ke belakang, sesungguhnya bukan pertama kalinya Indonesia
gegap-gempita soal mobnas. Pada pertengahan dekade 70-an, Indonesia
mengenal Mobil Rakyat Indonesia alias Morina. Mobil ini sempat meluncur
di jalan-jalan pada saat itu. Morina dirakit oleh PT. Garmak Motor yang
dinahkodai Probosutedjo. Pada 1976, mobil yang memiliki kandungan lokal
sebanyak 40 persen ini dihargai Rp1,25 juta. Termasuk murah untuk ukuran
pada saat itu, di mana harga kendaraan roda tiga Bajaj harganya Rp1
juta. Sayangnya, Morina tidak berumur panjang. Mobil ini hanya mampu
bertahan lima tahun, digusur Toyota yang merilis Kijang setahun kemudian
dengan harga Rp1,5 juta.
Memasuki
dekade 90-an, BJ Habibie, Meristek kala itu, berupaya memproduksi Maleo
yang digadang-gadang akan menjadi mobnas. Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) ditunjuk untuk membuat konsep dan mendesain
rancangannya. Namun, Maleo kemudian berhenti hanya sampai tahap
rancangan.
Lalu
ada pula nama-nama seperti Marlip (mobil listrik keluaran LIPI), MR 90,
Kalla Motor, Bakrie Beta 97 MPV, Gang Car, Komodo, Arina, Nuri, Tawon,
GEA sampai Wakaba. Yang paling menarik perhatian, tentu saja Timor dan
Bimantara. Kedua mobil ini diproduksi oleh perusahaan milik dua anak
Soeharto, presiden Indonesia kala itu, yakni Tommy dan Bambang. Pun
demikian, hingga hari ini tidak ada satu pun mobnas yang bertahan. Satu
persatu mobnas runtuh, seolah tak pernah sanggup menggeser dominasi ATPM
mobil luar negeri.
Dewa Yuniardi |
“Ada banyak
kemungkinan penyebabnya,” tutur Dewa Yuniardi, Ketua Marketing dan
Komunikasi Asosiasi Industri Automotive Nusantara (ASIANUSA). Salah
satunya adalah budaya masyarakat. Bisa jadi, katanya, masyarakat kita
memang cenderung tidak memilih produk lokal. Sehingga seandainya ada
mobnas berharga murah , pilihan masyarakat tetap jatuh kepada merek
asing. Namun, katanya menambahkan, bisa jadi pula ada tekanan dari pihak
luar terhadap pemerintah. Dewa tidak mau menyebutkan siapa yang ia
maksud dengan pihak luar. Yang jelas, dalam amatan Dewa, ada beberapa
kebijakan pemerintah yang terasa menyudutkan para produsen mobil lokal.
Dewa memberi contoh kasus saat Texmaco Perkasa memproduksi truk. “Saat
itu pemerintah malah mengeluarkan kebijakan bea nol persen untuk impor
truk,” kata Dewa.
Dewa
juga mengkhawatirkan kebijakan mengenai kebijakan Low Cost Green Car
(LCGC) yang menurut rencana akan dikeluarkan pemerintah pada Februari
ini. Dalam kebijakan itu disebutkan bahwa pemerintah akan menerapkan
insentif kebijakan fiskal bagi mobil yang ramah lingkungan. Menurut
Dewa, kebijakan ini sudah pasti akan dimanfaatkan oleh pabrik besar atau
ATPM sehingga mobil mereka akan berharga murah. “Pemerintah seperti
menekan kami,” tutur Dewa.
Menteri
Perindustriaan MS Hidayat dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR,
Selasa pekan lalu, menolak jika dikatakan pemerintah menghambat
perkembangan mobnas. “Pemerintah pada dasarnya mendukung inisiatif
merek-merek mobil nasional untuk tampil dan berkembang,” Katanya.
Pemerintah pun saat ini juga telah memberi beragam dukungan, mulai
promosi sampai pemberian izin berupa Nomor Identifikasi Kendaraan (NIK).
Selanjutnya, kata MS Hidayat, pemerintah akan mengupayakan agar
kandungan lokal di mobnas bisa mencapai setidaknya 80 persen.
Menanggapi
soal kandungan lokal, Dewa kembali mengaku tak sejalan dengan
pemerintah. Menurutnya, suatu produk tidak harus memiliki kandungan
lokal untuk disebut sebagai produk asli negara asal merek. “Produk
Amerika itu belum tentu memiliki kandungan lokal Amerika,” katanya. Yang
terpenting, menurut pria yang juga Direktur Marketing PT. Fin Komodo
Teknologi ini, produsen mobil Komodo, pemegang merek haruslah lokal.
Dengan menjadi pemegang merek, menurut Dewa, industri otomotif akan bisa
berkembang melebih ATPM . “Karena sebesar-besarnya ATPM, dia tidak bisa
mengembangkan dirinya sampai ke luar negeri, berbeda dengan pemegang
merek,” katanya.
Sementara
itu, Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima menyebutkan bahwa saat ini DPR
tengah mengagendakan pembentukan Panitia Kerja (Panja) mengenai mobnas.
Tujuannya, agar euforia mobnas yang ada saat ini lebih terintegrasi dan
tersistemasi dengan baik sehingga cita-cita agar Indonesia memiliki
mobnas lekas terwujud. “Harus dikawal agar tercipta roadmap yang jelas,”
ucapnya pada Prioritas.
Pada
akhirnya, menurut ekonom dan pemerhati transportasi Eryus AK, keputusan
politik memang penting. Eryus menilai bahwa kegagalan kegagalan mobil
nasional selama ini memang politik. “Pemerintah lebih condong kepada
industri luar negeri,” ujarnya. Menurut guru besar Sekolah Tinggi
Manajemen Transportasi Trisakti ini, dukungan pemerintah yang
sudah-sudah lebih terasa hanya sebagai semboyan semata. “Realisasinya
gak ada.”
Sumber: http://padamujua.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar