Toyota Agya dan Daihatsu Ayla |
Kabarbisnis.com - DALAM tahun ini, pemerintah memang gencar mendengungkan program mobil
murah ramah lingkungan alias low cost and green car (LCGC). Semangat
dari program ini adalah selain sebagai upaya mendukung konversi bahan
bakar minyak (BBM) ke jenis energi yang ramah lingkungan, juga agar
masyarakat bisa lebih menjangkau.
Puncaknya adalah
saat dihelatnya Indonesia International Motor Show (IIMS) 2012 di
JIExpo, Kemayoran Jakarta pekan lalu, dimana wajah-wajah baru mobil
murah kian kentara ditampilkan sejumlah pabrikan otomotif, tentu saja
merek-merek yang selama ini mewarnai pasar otomotif dalam negeri.
Toyota dan Daihatsu, dua pabrikan Jepang yang merajai pasar otomotif
Tanah Air meluncurkan Agya dan Ayla dengan harga di bawah Rp 100 juta
per unit. Di harga ini ada juga Tata Nano, dan Geely Panda. Selain masih
ada beberapa merek, seperti Honda Brio, Nissan March, dan Mitsubishi
Mirage, yang juga menawarkan mobil dengan harga lebih murah dibanding
mobil-mobil yang selama ini ada.
Tak ayal,
antusiasme masyarakat membuat pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan
bakal diberikannya subsidi bagi industri otomotif yang sudi menjalankan
program LCGC.
Tentu saja, ini membawa angin segar
bagi agen pemegang merek (APM) mobil yang notabene didukung penuh
prinsipal asing yang sudah membangun industri selama ratusan tahun.
Kondisi itu bertolak belakang dengan support pemerintah terhadap mobil
nasional, yang sebenarnya tengah semangat-semangatnya mengeluarkan mobil
yang diharapkan bisa terjangkau masyarakat. Kehadiran mobil murah itu
membuat mobil lokal kian susah bersaing. Tanpa perlindungan dari
pemerintah, industri lokal yang baru lahir bakal segera mati.
Seperti diketahui, tahun lalu publik di Tanah Air memang sempat
merasakan euforia mobil nasional dengan kehadiran mobil Esemka karya
siswa SMK di Solo. Sayangnya, gaung mobil nasional tidak bertahan lama.
Belum sempat tumbuh, produsen lokal harus menghadapi tantangan berat
lantaran harus bersaing dengan mobil murah APM yang secara teknologi
jauh lebih maju.
Ketua Umum Asosiasi Industri
Automotive Nusantara (Asia Nusa) Ibnu Susilo menilai, mobil merek lokal
akan semakin tersingkir dengan program LCGC. Maklum, LCGC banyak
mendapatkan subsidi dari pemerintah, sedangkan mobil lokal tidak. "Industri mobil lokal pasti mati," tandasnya.
Menurut dia, industri otomotif di negara lain bisa tumbuh karena
dilindungi pemerintah selama 15 tahun hingga 25 tahun. Di Indonesia,
produsen lokal hanya meminta perlindungan untuk memproduksi mobil dengan
kapasitas mesin sampai 1.000 cc. Sedangkan merek asing hanya diizinkan
bermain di segmen 1.300 cc ke atas. "Saya dan teman-teman sebenarnya
sudah minta ke pemerintah, tapi ditolak dan dibiarkan bersaing bebas,"
kata Ibnu.
Dengan peluncuran mobil Agya dan Ayla
yang mengusung konsep LCGC, Ibnu mengatakan, produsen mobil lokal
langsung mengerem produksinya. Jika program LCGC berjalan, mobil lokal
tinggal menunggu mati. Industri lokal hanya bisa bertahan jika
pemerintah menghentikan program LCGC dan melarang mobil merek asing
masuk ke segmen mobil 1.000 cc ke bawah.
Asia Nusa,
menurut Ibnu, bercita-cita membangun budaya industri otomotif nasional.
Dengan status sebagai prinsipal, nilai lebih yang diberikan kepada
negara lebih besar. Kontribusi terhadap devisa juga semakin besar.
Berbeda dengan ATPM, meskipun mengusung nama dan simbol lokal tapi
kepemilikannya asing dan uangnya dibawa ke luar negeri.
Direktur Pemasaran PT Super Gasindo Jaya yang memproduksi mobil Tawon,
Dewa Yuniardi juga meminta agar program LCGC jangan dilanjutkan. "Industri mobil lokal akan mati sendiri karena kalah bersaing,"
tuturnya.
Dewa bilang, dengan banyaknya insentif
yang diterima peserta program LCGC, harga mobil menjadi antara Rp 75
juta hingga Rp 100 juta. Perbedaan harga mobil lokal dan mobil LCGC tak
terpaut jauh. Sebagai pembanding, harga mobil lokal seperti Fin Komodo
Rp 70 juta, Tawon Rp 50 juta, dan Gea seharga Rp 55 juta.
Menurut Dewa, jika menghitung selisih cicilan per bulan yang dibayar
pembeli untuk membeli mobil merek lokal dan LCGC yang hanya sekitar Rp
200.000 hingga Rp 300.000, orang akan lebih memilih mobil LCGC ketimbang
mobil merek lokal. "Mobil nasional bukan jadi pilihan," kata Dewa.
Industri mobil lokal, menurut Dewa, tidak mendapat dukungan dari
pemerintah. Sebelumnya, pemerintah pernah menyampaikan akan memberikan
dukungan untuk pengembangan mobil nasional sebesar Rp 50 miliar. Tapi,
bantuan itu tidak pernah direalisasikan.
Pengamat
otomotif Martin T. Teiseran juga sependapat bahwa kehadiran LCGC akan
memukul industri mobil lokal. "Mobil nasional sangat terpukul dan tidak
akan mampu bersaing," kata Martin. Martin menilai
mobil merek lokal itu tidak memiliki keunggulan seperti yang dimiliki
mobil LCGC yang dikeluarkan oleh ATPM. Mobil merek lokal tidak bisa
memberikan harga murah dengan desain bagus. Mobil lokal juga belum
memiliki jaringan purnajual yang luas dan tidak didukung oleh tim
pemasaran yang kuat. Selain itu, tanpa jaminan mobil bekasnya tidak
anjlok.
Pengamat ekonomi Suhari Sargo juga
mengatakan, pengembangan mobil murah bisa membuat industri mobil
nasional kolaps. "Pengembangan itu seolah membiarkan industri mobil
nasional kita collaps," katanya. Menurut Suhari,
keberadaan mobil LCGC yang dikembangkan pabrikan asing harusnya
disesuaikan dengan kebijakan mobil nasional. Soalnya, industri mobil
nasional merupakan aset nasional yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia. "Industri mobil seperti Kancil, Esemka, itu kan 100 persen
punya kita, kalau (Toyota) Agya, (Daihatsu) Ayla itu kan punya asing,
jadi pemerintah harus atur itu juga," katanya.
Pemerintah dinilai Suhari terkesan tidak serius mengembangkan program
mobil nasional yang selama ini kencang dihembuskan. Soalnya, berbagai
proyek mobil nasional saat ini terkesan yang tidak difokuskan
pengembangannya oleh pemerintah. "Waktu itu dari PT Inka mau dipakai,
lalu mau buat mobil listrik juga, sekarang mengembangkan LCGC yang
harganya di bawah Rp 100 juta, jadi membingungkan," ujarnya.
Sikap pemerintah yang tidak konsisten dan tidak fokus dinilai Suhari
membuat proyek mobil nasional tidak terkesan main-main. Karena itu, dia
mendesak pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan-kebijakan yang sudah
dibuat sebelumnya. "Jadi kebijakan pemerintah soal industri otomotif
harus sejalan dengan kebijakan di sektor lainnya, seperti infrastruktur,
energi, dan lain-lain," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar