Bangkitnya industri otomotif China
mulai bisa kita rasakan saat ini. Beberapa merk sedan, SUV dan truk
mulai tampak di jalan. Bukan hanya di Indonesia, mungkin saat ini sudah
lebih dari 6 merk sudah masuk pasar Amerika Serikat. Dilihat dari
volumenya, diam-diam China sudah menjadi pasar otomotif terbesar di
dunia yang menembu angka 10 juta sales pertahun. Bila dilihat
sejarahnya, China membina industri otomotif mulai dari kendaraan untuk
militer dan pertanian. Knowhow untuk pengembangan produk, terutama
industri parts, sudah mapan sejak tahun lima-puluhan. Engine, axle,
transmission sudah biasa mereka design dan produksi. Maka tidak
mengherankan bila pada awal tahun 90an ada lebih dari 200 merk mobil di
China, merk asing dan merk lokal. Maka melihat ketidak-effisienan ini,
pemerintah China berusaha melakukan program rasionalisasi. Regrouping,
industri otomotif dihimbau untuk merger dan penataan ulang perizinan.
Modal dan teknologi kuat dari luar diundang untuk menjadi katalisator
proses rasionalisasi ini. Jumlah merk ingin dikurangi, harapannya akan
tercapai volume yang lebih ekonomis untuk berkembang wajar. Dalam
rencana pembangunan strategis China saat itu, Industri otomotif secara
explisit dijadikan pilar pertumbuhan industri dengan penjabaran yang
detail untuk pengelolaan dan penunjukan pihak-pihak yang in charge
secara jelas.
Kembali ke situasi saat ini di
negeri kita. Sebagai orang awam, kita mendengar kebijakan prioritas kita
bukan Mobil Nasional, tetapi mobil murah. Mobil murah itu bisa siapa
saja yang mewujudkan. Bisa juga merk yang dimiliki oleh orang luar
tetapi beroperasi di Indonesia. Yang penting ada kegiatan ekonomi, ada
lapangan kerja, ada komponen lokal yang melibatkan sebanyak-banyaknya
orang Indonesia. Fokusnya di pengembangan komponen lokal, sehingga
substitusi import bisa terjadi dengan sendirinya bila komponen lokal
mampu bersaing secara Quality, Cost, Delivery dan aspek lainnya seperti
Technology, Morale, Services dll.
Tetapi jangan lupa bahwa pemilik
merk mobil hanya mau bekerja sama dengan pihak yang mampu memberi input
teknologi lebih kepada mereka. Hanya yang memiliki kemampuan
development yang masuk hitungan mereka. Mereka hanya mau berurusan
dengan supplier yang punya teknologi agar bisa mengandalkan supplier
mengambil porsi lebih besar dalam membangun nilai tambah bagi bisnis
mereka. Suatu bentuk risk sharing yang cerdik.
Bukan hanya sekadar cost yang
lebih murah untuk sasaran jangka pendek, tetapi mereka lebih membutuhkan
dukungan supplier yang mampu memberikan Competitive Advantage untuk
persaingan jangka panjang.
Sehingga kembali suppier yang
hanya bisa meniru bentuk tidak akan mampu bersaing dan ditinggalkan oleh
pemilik merk luar. Sehngga, kembali, tanpa lokomotif yang menarik
supplier itu untuk maju bersama, kita akan selalu ketinggalan.
Akibatnya, first tier industri supplier kita dikuasai oleh pihak asing,
terutama Jepang. Supplier lokal kebanyakan hanya menjadi second tier
denganprofit yang terukur, dicatu sehingga mereka tidak mampu bekembang
dari hasil profit.
Pada perioda tahun 70 an sampai
awal 90an, keterlibatan pemerintah kita dominan untuk mengarahkan
perkembangan industri otomotif. Mulai dari pemilihan prioritas
pengembangan untuk kendaraan niaga dengan insentif bea masuk nol, target
local content dan lain-lain sampai dengan konsep Kendaraan Bermotor
Niaga Sederhana yang didukung untuk dikembangkan.
Konsepsi strategis seperti itu
saat ini kurang terdiseminasi ke lapangan, sehingga masing-masing unit
industri sibuk sendiri-sendiri dan sinergi hanya terjadi di dalam
kerjasama di dalam program suatu merk. Padahal pelajaran harus diambil
dengan melihat apa yang terjadi Thailand saat ini, dimana merk-merk yang
tadinya merasa mapan dengan strategi pemindahan basis industri ke
Thailand mulai berfikir ulang untuk invest di tempat lain. Ternyata
nothing lasts forever, secara alami perubahan terus terjadi. Pola
migrasi industri textile jangan-jangan terulang kembali. Atas nama cost
benefit, industri otomotif berpindah lokasi meninggalkan aset usang yang
segera akan menjadi tidak berguna setelah ada perkembangan teknologi
baru. Pada saat itu terjadi, mampukah kita memanfaatkan aset yang
tinggal, baik itu aset tetap maupun spirit, knowhow dan kompetensi
pelaku industri untuk persaingan dikemudian hari? Bukankah kita harus
belajar dari pengalaman dengan industri textile, microchip dan industri
sepatu dulu?
Langkah antisipatif China untuk
menguasai pasar baja dunia di 20 tahun ke depan akan membawa kemampuan
saing mereka di indusri otomotif semakin tinggi di masa dekat ini.
Strategi Jepang untuk menguasai pasar jasa logistik dunia diyakini dapat
membantu mereka survive pada saat industri manufaktur mereka
mendapatkan saingan yang lebih berat. Langkah strategis seperti ini
diperlukan bila kita ingin melindungi kepentingan kita di masa depan.
Ada adagium pengembangan diri
yang dapat diterapkan untuk situasi ini, bila kita tidak ambil tanggung
jawabnya (to be responsible), kita akan jadi mangsa (victim) orang lain.
Kadang-kadang ini tidak bisa jadi pilihan. Ini keharusan bila dilihat
dari konteks persaingan global.
Selain upaya membuat tamu kita
industri dari luar tetap betah tinggal di Indonesia selama mungkin,
kebijakan industri otomotif harus tegas menampilkan harapan kita,
membela kepentingan nasional. Memperkuat kemampuan negosiasi dan
membentuk dasar legislasi yang kondusif untuk pengembangan daya saing
industri lokal. Memperkuat kemampuan bersaing industri domestik tanpa
mencederai prinsip perdagangan bebas, misalnya dengan kombinasi
kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1. Mengendalikan pasar, seperti
di India di masa lalu yang menahan pertumbuhan pengembangan produk baru.
Bila pemerintah dapat mengarahkan pasar dengan aturan-aturan agar tetap
menerima existing product untuk memperpanjang life cycle atau
menghambat pembelian mobil baru, maka volume ekonomis akan tercapai dan
investasi menjadi lebih efisien. Resikonya produknya akan tampak usang,
bila dibandingkan dengan perkembangan produk di luar negeri. Seperti
model mobil Ambassador di India yang tidak berubah sejak tahun 60 an
sampai awal tahun 2000an, tetapi tetap dipakai sebagai mobil menterinya
sampai akhir tahun 90an.
Memperbesar pasar di dalam
negeri, membuka order pembelian pemeintah, memperbaiki infra struktur,
merangsang pertumbuhan ekonomi, hingga ke meningkatkan daya beli.
Bahkan VW Beetle pun
dipromosikan oleh Hitler untuk pemakaian pegawai negeri dengan fasiltas
kredit di Jerman di masa perkembangannya dulu.
2. Mendorong industri agar lebih
pintar belajar. Memberi insentif yang memberi peluang kepada industri
untuk mampu mengembangkan sendiri teknologi yang sudah terkuasai, agar
tetap mampu diterapkan untuk menghadapi persaingan pasar yang berkembang
terus. Investasi akan intensif, produk berkembang terus sederap dengan
perubahan pasar dan teknologi terus berkembang di depan merangsang
perkembangan itu.
Tanpa input guidance langsung
dari luar, industri otomotif harus mampu mengembangkan standard
teknologi saat ini sebagai modal untuk beranjak ke standard yang lebih
maju dengan belajar dari operasi sehari-hari.
Hal ini dilakukan oleh Tianjin
otomotof industri di China yang 8 tahun berkembang dibawah nama
Daihatsu, tetapi kemudian berdiri sendiri terlepas dari Daihatsu dengan
merk sendiri. Atau seperti TATA yang semula dibesarkan dengan share
kepemilikan dari Daimler, tetapi kemudian melepaskan diri. Hal ini juga
dilakukan oleh Daewoo dengan GM. Spin Off ini tidak selalu disertai
dengan hard feeling. Saat ini Daewoo masih bekerja sama dengan GM, TATA
bekerjasama dengan Daimler. Begitu juga kerja sama antara Tianjin dengan
Daihatsu. Atau Kwang Yang Motorcycle Company (Kymco) di sepeda motor
yang awalnya berkembang dengan Honda di Taiwan. Kelihatannya semua pihak
dapat mempertemukan semua kepentingannya secara win-win dengan
pemerintah sebagai katalisatornya. Negosiasi seperti ini yang tidak
dapat kita menangkan ketika Honda motor mengancam pisah dari Astra, bila
Astra tetap melanjutkan proyek sepeda motor Indonesia, yang prototype
type Expresa-nya dicoba oleh pak Harto keliling istana. Akhirnya proyek
sepeda motor itu dihentikan dan keluar dari Astra, mungkin karena tidak
cukup keterlibatan dari pemerintah untuk itu.
3. Masuk dengan strategi Blue
Ocean. Menciptakan iklim untuk prioritaskan produk-produk yang tidak
frontal bersaing di pasar yang terlalu ramai. Seperti contoh industri
otomotif China yang masuk di pasar kendaraan militer dan kendaraan
pertanian. Di sektor ini perkembangan feature produk tidak dominan
menentukan sukses pemasaran.
Arah pengembangan kembali ke
kendaraan niaga sebagai prioritas, kendaraan truk pertanian, kendaraan
pertambangan, kendaraan perang, traktor, alat berat dan sebagainya
dirangsang agar dapat tumbuh berkembang. Kembangkan kompetensinya dulu
dengan produk dengan profitability tinggi walaupun volume rendah, baru
kemudian volume di dapat dengan masuk ke produk yang main omzet tinggi
dengan profit lebih rendah.
Seperti TATA yang mulai dengan
pembuatan lokomotif 70 tahun yang lalu, kemudian beranjak ke truk, pick
up dan bus sebelum masuk ke kendaraan sedan.
Pemerintah harus menyediakan
opportunity market untuk infant industry seperti ini, agar pada saatnya
industri otomotif dapat menjadi lokomotif penarik kemajuan industri.
4. Menciptakan aturan yang
mendorong pengembangan industri hulu dan industri penunjang. Dari awal
pengembangannya industri otomotif Indonesian dimaksudkan untuk dimulai
dari hilirnya untuk dikembangkan ke hulu. Dari proses assembling untuk
kemudian ditindak lanjuti ke kemampuan manufacturing. Mulai dari
kemampuan pembuatan ke kemampuan design. Dari komponen dikembangkan ke
kemampuan pembuatan materialnya. Sehingga tercipta struktur industri
yang lengkap untuk memberi sumbangan maksimal penambahan nilai lokal
dalam industri otomotif.
Sudah saatnya keinginan ini
diterapkan dengan peraturan strategis yang mendorong pengembangan
industri hulu seperti industri material dan industri peralatan
permesinan sebagai industri penunjang. Perlu diaudit kembali status
pencapaian saat ini. Struktur industri yang masih kosong harus dapat
dipenuhi. Untuk melengkapi, yang tidak diperoleh secara gratis, harus
kita beli.
Aturan dengan keberpihakan yang
jelas untuk mempertinggi kemampuan lokal dibandingkan terhadap cost yang
belum tentu lebih rendah. Sehinga integrasi dari semua upaya ini
seharusnya dimulai dari satu program bersama yang dapat diwadahi oleh
Mobil Nasional.
Kekayaan sumber daya alam lokal
belum menjadi competitive advantage karena tidak siapnya broad base
industri pemanfaatannya. Seperti juga komoditi sawit, kayu, karet, dan
sebagainya, industri metal tidak diikuti oleh perkembangan yang serius
untuk pemanfaatannya. Sehingga siklusnya terputus dan kita tetap rendah
dalam daya saing.
5. Pemerintah harus mampu
memanfaatkan aset nasional yang sudah tertanam dalam proyek-proyek Mobil
Nasional terdahulu. Secara nasional, ada potensi yang idle tidak
perform. Restrukturisasi penyelesaian masalah finansial sebaiknya
dibantu oleh komitment pemerintah untuk dapat kembali bermanfaat. Siapa
tahu dengan sedikit pengaturan, asetnya dapat kembali bermanfaat. Asset
bekas Timor, asset Perkasa dll harus bisa dimanfaatkan.
Kembali ke contoh VW Beetle,
bukan Hitler yang membawa kesuksesan bisnis VW. Setelah perang dunia II
fasilitas pabrik VW di Wolfsburg hancur total. Angkatan Udara Inggeris
yang ditugasi membenahi aset itu menunjuk Heinrich Nordhoff yang memulai
segalanya dari nol. Dengan kegigihan, kerja keras dan ketekunannya ia
meletakkan dasar sehingga VW Beetle berhasil diproduksi sebanyak
16,255,500 buah selama lebih dari 30 tahun.
0 komentar:
Posting Komentar