Pemerintah
Pusat dan Pemprov DKI Jakarta serta pemangku kepentingan yang lain
berupaya untuk mencari solusi mengatasi kemacetan Jakarta. Baik itu
dengan upaya mendorong masyarakat beralih menggunakan sarana
transportasi umum (pembangunan Transjakarta, rencana pembangunan MRT,
dll) dan juga melakukan upaya-upaya pembatasan penggunaan kendaraan di
jalan raya (seperti rencana menerapkan ERP dan sistem genap ganjil,
dll).
Ironisnya,
di tengah-tengah upaya Pemerintah mengatasi kemacetan Jakarta, dalam
waktu dekat regulasi mobil murah dan ramah lingkungan atau disebut
dengan “Low Cost Green Car” (LCGC) bakal diteken oleh Pemerintah
sendiri. Apakah kebijakan yang akan diambil pemerintah tersebut atas
dasar desakan perusahaan otomotif asing seperti Toyota yang saat ini
galau menunggu regulasi LCGC, sedangkan gelombang peminat kendaraan
Toyota Agya yang diproyeksikan sebagai mobil murah sangat membludak
yaitu sudah > 10.000 peminat ?
Dengan
semakin membludaknya populasi kendaraan pribadi di jalan, otomatis
kondisi kemacetan khususnya di Jakarta akan kian parah. Dan segala upaya
untuk mendorong minat masyarakat beralih ke angkutan umum yang telah
dan akan menguras banyak biaya untuk pembangunan BRT ataupun MRT juga
akan sia-sia.
Menurut
Menteri Perindustrian MS. Hidayat, bahwa regulasi mobil murah dan ramah
lingkungan ini bukanlah penyebab kemacetan di Jakarta. Menurutnya,
mobil murah ini tidak hanya diperuntukkan Jakarta saja, melainkan
seluruh daerah di Indonesia.
Jakarta sebagai Ibu kota Negara Republik Indonesia, sekaligus menjadi pusat ekonomi, politik, budaya dan sosial menghadapi permasalahan transportasi perkotaan yang sangat kompleks.
Dalam keseharian, permasalahan yang dapat dilihat adalah kemacetan di hampir seluruh jaringan jalan di kota Jakarta dan berimbas di kota sekitarnya. Tingkat kemacetan di kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, sudah termasuk dalam kategori yang membahayakan baik dari segi ekonomi dan sosial.
Dampak dari permasalahan kemacetan tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi dan menyebabkan pula ekonomi biaya tinggi untuk seluruh aspek kegiatan masyarakat. Di samping itu, kualitas lingkungan kota dan kualitas lingkungan hidup di Jakarta semakin menurun dan menempatkan Kota Jakarta sebagai Kota yang memiliki polusi udara terburuk ketiga di dunia (Tempo Interaktif , 25 Juli 2005).
Dampak dari permasalahan kemacetan tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi dan menyebabkan pula ekonomi biaya tinggi untuk seluruh aspek kegiatan masyarakat. Di samping itu, kualitas lingkungan kota dan kualitas lingkungan hidup di Jakarta semakin menurun dan menempatkan Kota Jakarta sebagai Kota yang memiliki polusi udara terburuk ketiga di dunia (Tempo Interaktif , 25 Juli 2005).
Menurut hasil riset Japan International Corporation Agency (JICA), Jika arah perkembangan kota dan sistem transportasi tidak segera dibenahi dengan serius, maka diprediksi pada tahun 2014 sistem transportasi Jakarta akan mengalami permanent gridlock (lumpuh total).
Sumber : Dit. Lantas Pmj 2011 |
Kondisi kemacetan Jakarta yang semakin parah ini dikarenakan kemampuan ruas jalan di Jakarta untuk menampung arus atau volume lalu lintas dalam satuan waktu tertentu semakin menurun. Dengan menurunnya kapasitas jalan ini akan sangat mempengaruhi efisiensi dari pergerakan lalu lintas dan kinerja jalan. Hal ini merujuk pada data bahwa panjang jalan di wilayah DKI Jakarta adalah 7.650 Km dengan luas jalan 42,3 Km2 atau sama dengan 6,2 % luas wilayah DKI Jakarta (sedangkan idealnya adalah 10-20%), adapun angka pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 % per tahun. Kondisi ini tentunya sangat tidak sebanding dengan laju pertumbuhan rata-rata kendaran bermotor, yaitu ± 11,23% per tahun di wilayah Jabodetabek (DKI = 8,7% per tahun dan Bodetabek = 15,3% pertahun).
Volume lalu lintas yang terus mengalami peningkatan tajam dari tahun ke tahun, sehingga menambah beban lalu lintas di jalan. Peningkatan volume lalu lintas ini sebagai akibat dari semakin membludaknya populasi kendaraan dan peningkatan kebutuhan perjalanan masyarakat di Ibu Kota.
Tingginya angka perjalanan di Jakarta membuat ruas-ruas jalan tertentu mendapat beban yang terlampau berat, bahkan di atas normal. Penelitian di 34 titik jalan arteri di Jakarta yang dilakukan Departemen Perhubungan RI pada tahun 2000 menunjukkan ada 32 titik (94%) ruas jalan arteri di Jakarta yang melebihi kapasitas. Artinya, tak ada jalan arteri di Jakarta yang bebas dari macet. Dan menurut data Direktorat Lalu Lintas (2010), ada 26 koridor dan 747 titik ruas jalan di DKI Jakarta yang rawan macet.
Apalagi minat masyarakat menggunakan angkutan umum juga mengalami trend penurunan. Sedangkan jumlah kendaraan pribadi yang dioperasionalkan di jalan jauh lebih banyak dibanding kendaraan umum, sehingga semakin memperparah keruwetan transportasi di Jakarta.
Dengan kondisi kemacetan yang demikian parah, maka Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta serta pemangku kepentingan yang lain berupaya untuk mencari solusi mengatasi kemacetan Jakarta. Baik itu dengan upaya mendorong masyarakat beralih menggunakan sarana transportasi umum (pembangunan Transjakarta, rencana pembangunan MRT, dll) dan juga melakukan upaya-upaya pembatasan penggunaan kendaraan di jalan raya (seperti rencana menerapkan ERP dan sistem genap ganjil, dll).
Ironisnya, di tengah-tengah upaya Pemerintah mengatasi kemacetan Jakarta, dalam waktu dekat regulasi mobil murah dan ramah lingkungan atau disebut dengan “Low Cost Green Car” (LCGC) bakal diteken oleh Pemerintah sendiri. Apakah kebijakan yang akan diambil pemerintah tersebut atas dasar desakan perusahaan otomotif asing seperti Toyota yang saat ini galau menunggu regulasi LCGC, sedangkan gelombang peminat kendaraan Toyota Agya yang diproyeksikan sebagai mobil murah sangat membludak yaitu sudah > 10.000 peminat ?
Volume lalu lintas yang terus mengalami peningkatan tajam dari tahun ke tahun, sehingga menambah beban lalu lintas di jalan. Peningkatan volume lalu lintas ini sebagai akibat dari semakin membludaknya populasi kendaraan dan peningkatan kebutuhan perjalanan masyarakat di Ibu Kota.
Tingginya angka perjalanan di Jakarta membuat ruas-ruas jalan tertentu mendapat beban yang terlampau berat, bahkan di atas normal. Penelitian di 34 titik jalan arteri di Jakarta yang dilakukan Departemen Perhubungan RI pada tahun 2000 menunjukkan ada 32 titik (94%) ruas jalan arteri di Jakarta yang melebihi kapasitas. Artinya, tak ada jalan arteri di Jakarta yang bebas dari macet. Dan menurut data Direktorat Lalu Lintas (2010), ada 26 koridor dan 747 titik ruas jalan di DKI Jakarta yang rawan macet.
Apalagi minat masyarakat menggunakan angkutan umum juga mengalami trend penurunan. Sedangkan jumlah kendaraan pribadi yang dioperasionalkan di jalan jauh lebih banyak dibanding kendaraan umum, sehingga semakin memperparah keruwetan transportasi di Jakarta.
Dengan kondisi kemacetan yang demikian parah, maka Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta serta pemangku kepentingan yang lain berupaya untuk mencari solusi mengatasi kemacetan Jakarta. Baik itu dengan upaya mendorong masyarakat beralih menggunakan sarana transportasi umum (pembangunan Transjakarta, rencana pembangunan MRT, dll) dan juga melakukan upaya-upaya pembatasan penggunaan kendaraan di jalan raya (seperti rencana menerapkan ERP dan sistem genap ganjil, dll).
Ironisnya, di tengah-tengah upaya Pemerintah mengatasi kemacetan Jakarta, dalam waktu dekat regulasi mobil murah dan ramah lingkungan atau disebut dengan “Low Cost Green Car” (LCGC) bakal diteken oleh Pemerintah sendiri. Apakah kebijakan yang akan diambil pemerintah tersebut atas dasar desakan perusahaan otomotif asing seperti Toyota yang saat ini galau menunggu regulasi LCGC, sedangkan gelombang peminat kendaraan Toyota Agya yang diproyeksikan sebagai mobil murah sangat membludak yaitu sudah > 10.000 peminat ?
Meskipun peraturan pemerintah yang akan memayungi pasar mobil murah di Indonesia dalam regulasi LCGC tersebut belum juga diteken, namun beberapa pabrikan mobil sepertinya sudah sangat serius menyambutnya.
Beberapa pemegang merek besar seperti Toyota, Suzuki, Nissan dan Daihatsu serta beberapa pendatang baru seperti pabrikan mobil Tata dari India sudah siap dengan mobil-mobil murah mereka. Dan mobil – mobil tersebut diperkirakan akan meramaikan pasar otomotif Indonesia dengan harga di bawah Rp 100 jutaan.
Waw ... mirip kacang goreng nanti ! Kalau ga percaya seperti yang terjadi di India. Di mana pada tanggal 16 Oktober 2012 lalu mobil murah New Suzuki Alto mulai diperkenalkan dan sudah ada pemesan sebanyak 50.000 orang. Membludaknya pesanan New Suzuki Alto ini tak lain dari harganya yang sangat murah. Di India, New Alto termurah dibanderol tidak lebih dari harga Kawasaki Ninja 250. Bayangkan saja New Suzuki Alto 800 Std dibanderol harga RS 244.000 atau setara Rp 43 juta. Sedang varian tertinggi, LXI Airbag dibanderol RS 310.775 atau setara Rp 54 jutaan.
Beberapa pemegang merek besar seperti Toyota, Suzuki, Nissan dan Daihatsu serta beberapa pendatang baru seperti pabrikan mobil Tata dari India sudah siap dengan mobil-mobil murah mereka. Dan mobil – mobil tersebut diperkirakan akan meramaikan pasar otomotif Indonesia dengan harga di bawah Rp 100 jutaan.
Waw ... mirip kacang goreng nanti ! Kalau ga percaya seperti yang terjadi di India. Di mana pada tanggal 16 Oktober 2012 lalu mobil murah New Suzuki Alto mulai diperkenalkan dan sudah ada pemesan sebanyak 50.000 orang. Membludaknya pesanan New Suzuki Alto ini tak lain dari harganya yang sangat murah. Di India, New Alto termurah dibanderol tidak lebih dari harga Kawasaki Ninja 250. Bayangkan saja New Suzuki Alto 800 Std dibanderol harga RS 244.000 atau setara Rp 43 juta. Sedang varian tertinggi, LXI Airbag dibanderol RS 310.775 atau setara Rp 54 jutaan.
Dengan semakin membludaknya populasi kendaraan pribadi di jalan, otomatis kondisi kemacetan khususnya di Jakarta akan kian parah. Dan segala upaya untuk mendorong minat masyarakat beralih ke angkutan umum yang telah dan akan menguras banyak biaya untuk pembangunan BRT ataupun MRT juga akan sia-sia.
Menurut Menteri Perindustrian MS. Hidayat, bahwa regulasi mobil murah dan ramah lingkungan ini bukanlah penyebab kemacetan di Jakarta. Menurutnya, mobil murah ini tidak hanya diperuntukkan Jakarta saja, melainkan seluruh daerah di Indonesia.
Jika melihat data tahun 2011, jumlah pendaftaran mobil pribadi di wilayah Jadetabek ± 172.125 unit, sedangkan jumlah penjualan mobil di seluruh Indonesia pada tahun yang sama mencapai ± 812.121 unit. Artinya di wilayah Jadetabek terjual mobil sekitar 21,2%. Angka yang tidak kecil dan tentunya sangat besar pengaruhnya dalam memberikan konstribusi peningkatan volume kendaraan di Ibu Kota.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Perindustrian MS.Hidayat mengatakan, Indonesia membutuhkan tambahan investasi sekitar US$ 2 miliar (Rp 18,86 triliun) untuk membangun pabrik mobil baru agar kapasitas produksi naik menjadi 2 juta unit pada 2019/2020. Investasi ini dibutuhkan untuk mengimbangi pasar mobil nasional yang mencapai angka tersebut pada tahun yang sama. "Indonesia akan memproduksi mobil sekitar 1 juta unit tahun ini dan menjadi 2 juta unit dalam 7-8 tahun mendatang," kata Hidayat.
Menurut Menteri Perindustrian MS. Hidayat, bahwa regulasi mobil murah dan ramah lingkungan ini bukanlah penyebab kemacetan di Jakarta. Menurutnya, mobil murah ini tidak hanya diperuntukkan Jakarta saja, melainkan seluruh daerah di Indonesia.
Jika melihat data tahun 2011, jumlah pendaftaran mobil pribadi di wilayah Jadetabek ± 172.125 unit, sedangkan jumlah penjualan mobil di seluruh Indonesia pada tahun yang sama mencapai ± 812.121 unit. Artinya di wilayah Jadetabek terjual mobil sekitar 21,2%. Angka yang tidak kecil dan tentunya sangat besar pengaruhnya dalam memberikan konstribusi peningkatan volume kendaraan di Ibu Kota.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Perindustrian MS.Hidayat mengatakan, Indonesia membutuhkan tambahan investasi sekitar US$ 2 miliar (Rp 18,86 triliun) untuk membangun pabrik mobil baru agar kapasitas produksi naik menjadi 2 juta unit pada 2019/2020. Investasi ini dibutuhkan untuk mengimbangi pasar mobil nasional yang mencapai angka tersebut pada tahun yang sama. "Indonesia akan memproduksi mobil sekitar 1 juta unit tahun ini dan menjadi 2 juta unit dalam 7-8 tahun mendatang," kata Hidayat.
Jika populasi kendaraan ini tidak dikendalikan bahkan berpacu untuk semakin dikembangbiakkan, bagaimana masa depan kamseltibcar lalu lintas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya ?
Apakah alasan bahwa dengan semakin meningkatnya ekonomi masyarakat, maka permintaan akan kendaraan pribadi juga semakin meningkat dianggap sebagai suatu kewajaran dengan mengalahkan kepentingan yang lain ?
Apakah lebih baik mengembangkan industri otomotif asing untuk meningkatkan devisa ? Baik devisa dari industri komponen maupun penyerapan tenaga kerja, pajak, dll, sehingga tidak mengkalkulasi kerugian yang jauh lebih besar akibat berkembang biaknya populasi kendaraan ini ?
Sebagai acuan , dapat kita lihat dari data-data di bawah ini :
Apakah alasan bahwa dengan semakin meningkatnya ekonomi masyarakat, maka permintaan akan kendaraan pribadi juga semakin meningkat dianggap sebagai suatu kewajaran dengan mengalahkan kepentingan yang lain ?
Apakah lebih baik mengembangkan industri otomotif asing untuk meningkatkan devisa ? Baik devisa dari industri komponen maupun penyerapan tenaga kerja, pajak, dll, sehingga tidak mengkalkulasi kerugian yang jauh lebih besar akibat berkembang biaknya populasi kendaraan ini ?
Sebagai acuan , dapat kita lihat dari data-data di bawah ini :
- Hasil riset JICA (2004), „ The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek-Indonesia (Phase II)’, disebutkan bahwa loss benefit yang diakibatkan kemacetan di DKI Jakarta saja pada tahun 2020 diperkirakan mencapai ± Rp 65 triliun/tahun yang meliputi kerugian biaya operasional kendaraan Rp 28,1 Triliun dan kerugian waktu produktif masyarakat Rp 36,9 Triliun. Hal ini belum termasuk kerugian kesehatan akibat polusi udara kendaraan bermotor di jalan;
- Besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dipatok dalam APBN Perubahan 2012 saja sudah mencapai Rp 137,4 Trilliun dan bisa bertambah. Apalagi tahun 2013 dan seterusnya;
- Hasil road side monitoring tingkat pencemaran udara tahun 2011 :
- Lokasi Monitoring :
- 1). Jakarta Barat ( Jl. Daan Mogot , Jl. Hayam Wuruk dan Jl. Letjend. S. Parman )
- 2). Jakarta Utara (Jl. Yos Sudarso, Danau Sunter dan Boulevard Kelapa Gading)
- 3). Kota Bekasi (Jl. A.Yani, Jatiwaringin dan Jl. Sultan Agung)
- Hasil : Tingginya pencemaran udara seperti HC (hidrokarbon) sebagai penyebab meningkatnya ozon di lapisan bawah atmosfir dan pemicu Kanker. Di samping itu, kandungan O3 (ozon) sebagai zat berbahaya pembentuk kabut asap yang berbahaya bagi kesehatan dan mengganggu penglihatan serta berkurangnya produksi pangan dan efek panas.
- Meningkatnya biaya logistik perkotaan dan mengurangi daya saing kota sehingga iklim investasi menurun sebagai dampak dari situasi kamseltibcar lalu lintas yang kurang baik. Kondisi ini tentunya menjadi penghambat program MP3EI dalam mengembangkan potensi Daerah melalui 6 Koridor Ekonomi yang akan dikembangkan berdasarkan keunggulan masing-masing wilayah guna mendorong iklim investasi dan sekaligus sebagai katalisator terjadinya akselerasi Negara Indonesia dalam mewujudkan visi tahun 2005 sesuai RPJPN untuk mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang inklusif dan berkelanjutan.
Ataukah kita akan menerapan Sistem Kuota Kendaraan (Vehicle Quota System) seperti di Singapura tanpa harus mengendalikan jumlah produksi ? Yaitu melalui cara : mewajibkan bagi siapapun yang berniat untuk membeli kendaraan terlebih dahulu harus memperoleh Sertifikat Hak (SBH) melalui sistem lelang terbuka.
Berdasarkan kebijakan ini, jumlah kendaraan baru yang berhak melakukan registrasi izin didasarkan pada data pertumbuhan kendaraan dan jumlah kendaraan yang sudah habis masa berlakunya. Selama 12 tahun terakhir sejak VQS diperkenalkan pada Mei 1990, tingkat pertumbuhan kendaraan pada setiap tutup tahun tidak melebihi kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu sekitar 3% dan sampai dengan tahun 2011 diperkirakan jumlah populasi mobil di Singapore adalah sekitar 956.704 unit (di DKI Jakarta saja sudah 1.919.891 unit, belum lagi kiriman dari wilayah Detabek yang sudah mencapai 621.460 unit dan belum lagi populasi sepeda motor dengan populasi 9.861.451 unit untuk wilayah Jadetabek); gak tahulah ... !
Mobil murah atau kemacetan ? Tentu pilihannya adalah mobil murah. Jadi, ya ... selamat bermacet ria Jakarta ! (YAKUB DEDY KARYAWAN)
0 komentar:
Posting Komentar