ASIANUSA singkatan dari ASOSIASI INDUSTRI AUTOMOTIF NUSANTARA dimana anggotanya terdiri dari produsen 'Micro Car' dan Mesin Penggerak di seluruh Indonesia.



Perlukah ada mobil Indonesia ?

Mobil Nasional sering dipandang memiliki dua muka. Sering Mobil Nasional dipandang sebagai tahayul yang ditakuti, dijauhi, dipandang tidak ada gunanya dipikirkan bila kita tidak punya uang. Dibilang adalah dosa bila kita menggunakan uang yang hanya sedkit untuk sesuatu yang resikonya terlalu besar. Di pihak lain, Mobil Nasional digambarkan terlalu sederhana. Seakan-akan asal bisa gabungkan komponen-komponen mobil, setiap orang yang memiliki bengkel bisa bikin Mobil Nasional. Mobil Nasional dipersepsikan secara naif sehingga ditertawakan dan ditinggalkan orang karena dianggap sebagai mainan penghayal yang tidak serius dan tidak memiliki prospek bisnis yang nyata.

MENJADI TUAN DARI PRODUK SENDIRI.

Kreativitas diperlukan bukan hanya untuk menghasilkan produk baru, tetapi kreativitas juga berperan besar dalam cara kita memprosesnya, mendidik kita menemukan cara baru mengatasi masalah, membentuk sistem baru untuk menjawab persoalan yang ada.

Karena itu nilai Mobil Nasional lebih luas dari sekadar produk teknis saja, tetapi dapat diharapkan membentuk wahana mendidik bangsa untuk mewujudkan proyek nyata hasil budaya bangsa kita. Untuk mengajari kita berkoordinasi rumit, berfikir menyeluruh, berupaya bersama secara sinkron yang diperlukan untuk menjalankan usaha dalam skala sistem business dengan rantai supply, manufaktur, distribusi hingga pelayanan purna jual yang panjang.

Sadarkah kita bahwa pembuat masih harus tetap bertanggung jawab atas tersedianya suku cadang bahkan sampai 10 tahun model produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi? Ini contoh rantai tanggung jawab yang nyata harus dikelola oleh pembuat Mobil Nasional. Kita harus belajar bersikap strategis jangka panjang, bukan cuman mengejar untung jangka pendek secara oportunistik.

Sikap dan visi dengan tanggung jawab seperti ini yang akan membuat bangsa kita maju, punya komitmen yang jelas, terus belajar mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah sendiri.

Membentuk usaha Mobil Nasional bukan sesuatu yang mudah, tetapi secara sistematik akan mengajari kita untuk berupaya dalam lingkup aspek yang luas dengan tujuan profit yang jelas. Masalah akan selalu banyak, tetapi usaha mengatasinya secara terus menerus dan menyeluruh akan membuat kita belajar mempertinggi kemampuan kita sendiri. Inilah hasil teknologi yang akan kita dapati dari pengalaman belajar sehari-hari dalam business Mobil Nasional.

Pasar mobil di Indonesia sangat dikuasai oleh produk Jepang. Produk Jepang sangat didukung oleh supplier pembuat part yang juga berasal dari Keiretsu mereka di Jepang. Masing-masing merk punya kelompok pendukung yang setia, selama merk mobilnya hidup, supplier dijamin dapat order. Walaupun sekarang mereka lebih cost concern, sehingga ikatan kekerabatan itu menjadi lebih longgar.

Kita prihatin, untuk first tier supplier part mobil, sekitar 90% adalah kerabat mereka dari Jepang dengan keterlibatan yang bervariasi mulai dari sekadar technical support sampai ke pemilikan saham. Kejadian yang benar-benar terjadi ketika kick-off proyek Suzuki APV. Presentasi dari project leader dibawakan dalam bahasa Inggeris, tetapi tanya jawab dilakukan dalam bahasa Jepang. Ada keberatan diajukan, minta untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetapi tidak bisa dilayani, karena alasan tidak ada persiapan untuk itu karena keterbatassan waktu persiapan, Team mereka baru datang malam sebelumnya. Supplier yang tidak bisa bahasa Jepang menjadi kambing congek di negeri sendiri. Masalah kecil, tapi sebetulnya ini hanya bagian kecil dari masalah seluruhnya. Pihak lokal belum punya power untuk didengar oleh pemegang merk asing. Determinasi akhir masih banyak dipegang pemilik merknya, ini hal yang wajar sebenarnya. Bila ingin lebih banyak menentukan, terutama dalam arah bisnisnya, jadilah pemegang merk sendiri.

Apakah persaingan tidak dapat dikendalikan melalui regulasi sehingga tidak ada pemborosan secara nasional?

Pernahkah dipelajari bagaimana India dapat mempertahankan teknologi produk lama selama jangka watu panjang sehingga memiliki teknologi dan ketahanan industri memadai, sebelum akhirnya investasi asing masuk membawa teknologi produk terbaru?

COST EFFECTIVE.

Bila bicara soal cost. Porsi terbesar cost adalah cost dari material, dan material sebagian besar masih bergantung kepada import. Tentunya data yang ada di IATT Depperin dapat bercerita banyak.
Kita lihat bagaimana cost dari mobil dengan merk asing saat ini.

Katakanlah suatu kendaraan memiliki kandungan jumlah part lokal 80%. Kandungan ongkos pembelian lokal itu katakanlah mengandung 70% nilai material impor. Berarti kandungan nilai lokal benar-benar hanya 0,8 x 0,3 = 24%. Belum lagi bila kita bicara royalty dan pembagian keuntungan yang menjadi hak orang luar., sehingga porsi bagian lokal menjadi bertambah kecil lagi. Memang tidak semua part menyedihkan seperti ini, tetapi selalu ada porsi ongkos engineering dan pengembangan diharga part bervariasi sekitar 2 % sampai 8% yang harus dibayarkan ke luar, walaupun bisa saja yang mengerjakannya orang Indonesia juga. Porsi engineering fee ini lebih besar lagi dalam ongkos pengembangan mobil secara keseluruhan, yang disembunyikan dalam berbagai cara, baik dalam program persiapan, maupun dalam consultation man day fee atau quality improvement yang menyusul kemudian. Kirim orang dalam berbagai team sebanyak-banyaknya dan mereka meraup untung dari situ. Pesis seperti induk yang menyusui dari anaknya.

Sebelum suatu proyek pengembangan produk diperkenalkan di Indonesia, biasanya prinsipal dan supplier pendukungnya sudah saling berunding duluan di negeri asalnya. Mereka minta input lokal, tetapi untuk keputusan akhir, mereka sudah memiliki skenario yang beralasan cost dan kepastian quality atas dasar kepentingan mereka. Porsi pembagian kue sudah dipetakan lebih dulu untuk kepentingan mereka. Negosiasi lokal hanya bergerak dalam kerangka yang sudah ditentukan dengan keleluasaan yang terbatas.
Tinggallah nanti porsi team Indonesia menjadi lebih sebagai pelaksananya, dengan akses terhadap keputusan sudah tidak begitu berarti. Akhirnya kita hanya menikmati porsi keuntungan terbatas.

INTI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI.

Secara teknologi, baik pembuat mobil maupun supplier pembuat part mobil bekerja sesuai company standard yang didapat dari prinsipalnya. Standard ini sebenarnya adalah teknologi yang disemai dan dikembangkan. Kompilasi dari berbagai sumber dan secara empiris disistematiskan oleh prinsipal menjadi suatu pegangan. Company standard ini bisa mencakup banyak hal. Secara mudah, kita anggap saja dapat digolongkan menjadi 3 kelompok: Standard untuk proses pembuatan ( manufacturability, manufacturing method, production standards, dsb) dan Standard untuk design produk (resep untuk performance, endurance dan kualitas). Serta kelompok Standard ke 3 adalah standard-standar yang berkaitan dengan mesin dan peralatan yang memastikan kondisi yang dituntut dari alat dan mesin agar kedua standard proses dan standard produk di atas dapat mencapai hasil yang diharapkan. Bila dinilai secara umum, dapat dikatakan kelemahan kita adalah untuk kelompok standard yang kedua, standard mengenai design produk. Contohnya design wheel (pelek). Kita menguasai design sepenuhya, kecuali perencanaan kekuatan fatiguenya. Strength analysis ini masih dilakukan oleh partner technology provider dari Jepang. Upaya penguasaan kemampuan ini terhalang oleh tenggang rasa pembagian porsi tanggung jawab antara design dan pebuatan. Tanggung jawab pembuatan sepenuhnya tanggung jawab lokal, tetapi kebenaran design masih menjadi tanggung jawab partner Jepang, karena mereka dibayar untuk itu melalui royalty. Bila kita mau, pertama harus ada riset aplikasi dengan software yang memadai untuk melakukan study empiris dengan cara menghitung kembali performance semua design produk OK dan semua kasus yang tidak OK. Memplot dalam diagram S -N untuk kondisi spesifik masing-masing design dan menyimpulkan margin safety untuk design tersebut. Masalahnya adalah kemudian tereduksi menjadi masalah hubungan baik: jangan sampai perkembangan kemampuan lokal membuat partner marah. Karena nyatanya saat ini kita masih bergantung kepada mereka, baik teknis maupun pasar, mereka nyatanya adalah pasar terbesar dari produksi yang dihasilkan lokal.

Kasus buruk pernah dialami kelompok Wahab Affan dalam bisnis sedan Datsun-nya. Datsun Nissan menguasai pasar mobil sedan Indonesia sebelum Toyota di tahun 70an. Nissan tidak setuju Indokaya, distributor lokalnya beli mesin press yang dicurigai sebagai tanda awal pembangkangan teknologi. Akhirnya Datsun Nissan lepas dari Indokaya dipindahkan keagenannya ke Wahana Wirawan dan Toyota tumbuh karena Datsun hilang dari pasar.

Pelaku industri lokal masih beranggapan riset adalah kemewahan. Investasi untuk teknologi menjadi prioritas terakhir karena dituntut langsung harus produktif, jangan cuma dipakai belajar. Padahal tanpa belajar kita tidak bisa beranjak dari keadaan saat ini. Akhirnya membulat, lingkaran setan tidak bisa diputuskan.

Contoh lain misalnya adalah bila kita minta Kayaba lokal untuk mendesignkan kita shock absorber, mereka belum mengerti bagaimana mengestimasi performance sebelum ada sample jadi. Design seperti berdiri sendiri sebagai gambar kerja dari proses pembuatan saja. Padahal design berkaitan erat dengan system kendaraan secara keseluruhan, saling kebergantungan antar komponen dalam suatu integrasi system yang tidak bisa dipisahkan untuk mencapai performance mobil secara keseluruhan.

Performance direncanakan, diestimasi, disimulasi, dikalkulasi dan dibandingkan dengan hasil pengujian sebagai verifikasi kebenarannya. Siklus ini jarang dialami secara total untuk setiap mata rantai dalam pengembangan produk mobil saat ini. Sehingga design lebih kepada trial and error melalui pegujian hasil prototype. Dan kasus ini umum terjadi untuk part yang lain.

Tanggung jawab terhadap desgn ini selalu dipegang oleh pemilik teknologi, sehingga kita merasa aman. Tetapi kita akan sukar keluar berkembang, selama kita tidak mau melampaui comfort zone ini. Selamanya kita akan berada dalam sangkar emas, tetapi harus selalu disuapi. Akan lain bila kita pemilik merk sendiri. Kita akan harus bertanggung jawab atas apa yang kita hasilkan, kalau tidak kita akan mati dalam persaingan. Sehingga dorongan untuk penguasaan teknologi menjadi besar dan akan selalu bersedia membuat budget investasi untuk suatu perkembangan baru.

Mobil Indonesia akan menjadi wahana sinergi pertumbuhan kemampuan teknologi lokal. Hanya sasaran bisnis konkrit yang dapat menyatukan sumber daya yang ada untuk mewujudkan hasil nyata.

Awal tahun 80an suatu proyek test case kemampuan design dan pengembangan lokal dibentuk Departemen Perindustrian, di bawah Dirjen Suhartoyo ketika itu. Proyek itu disebut Proyek Prototype Truk nasional (PTN). Team PTN sendiri terdiri atas pribadi-pribadi dari swasta dan instansi pemerintah. Walaupun akhirnya tidak ada kelanjutan bisnis dari PTN , kesempatan seperti ini sebenarnya berperan besar dalam mewujudkan sinergi industri dengan pihak lain, lebih nyata dibandingkan hanya himbauan untuk kerjasama.

Mobil Indonesia harus berani lagsung membeli lisensi teknologi yang diperlukan. Dari lisensi ini teknologi selanjutnya dikembangkan. Lisensi baru masuk akal bila digunakan untuk volume produksi yang cukup. Sehingga jaminan volume ini perlu ada dari regulasi pemerintah. Bila perlu dengan suatu perlindungan non tarif atau pola insentif yang tidak menyalahi aturan internasional. Pasar domestik harus kondusif untuk menyemaikan bibit industri Mobii Indonesia. Pemerintah seyogyanya mengatur agar proses ini berjalan dalam koridor konsep pembinaan yang secara menyeluruh direncanakan untuk kepentingan nasional.

Dorogan perkembangan teknologi dirangsang oleh pemerintah. Seperti misalnya pengendalian lingkungan seperti pengiritan konsumsi bahan bakar, pemakai energi alternatif, kemampuan daur ulang dan sebagainya diset untuk menjadi alat pacu kemajuan teknologi. Teknologi juga menjadi barrier to entry sebagai alat persaingan bisnis. Tuntutan terhadap standard yang semakin ketat dari waktiu ke waktu, requirement yang lebih tinggi dibuat untuk scare away pemain baru di ladang yang sudah dikuasai pemain lama.

INTI PERTUMBUHAN INDUSTRI.

Mobil Indonesia seyogyanya menjadi muara sekaligus lokomotif kemajuan kompetensi berdasarkan kaidah-kaida bisnis yang nyata. Mobil Indonesia harus dimodali cukup untuk memastikan ia mampu selalu memperbaharui daya saing melalui investasi teknologi. Dalam arah sebaliknya, Mobil Indonesia harus ada agar ada lokomotif yang menggandeng kemajuan teknologi yang lebih mendasar. Kemampuan teknologi yang tidak mungkin dikuasai hanya dari transfer kursus dan penyerahan buku manual saja. Teknologi harus disemaikan sendiri. Seperti kata pepatah, guru akan datang kalau murid sudah siap. Kalau murid tidak ingin menguasai seluruhnya, guru tidak akan mengajarkan seluruhnya. Akhirnya kita selalu menjadi murid yang kurang baik, belajarnya tidak pernah tuntas dan tidak pernah mau belajar meneliti sendiri.

Industri mobil China maju karena secara tegas direncanakan sejak dua puluh lima tahunan yang lalu bahwa industri mobil dijadikan pilar utama pertumbuhan nasional. Pemerintah mulai menata dan mengorganisir industri mobil dan komponennya secara nasional dan menetapkan aturan main wewenang daerah untuk berkembang dalam kerangka yang disepakati. Dan akan kita lihat hasilnya dalam waktu dekat.

Posted on Mei 13, 2009 by in "Perlukah ada Mobil Indonesia ?"

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Dewa Yuniardi - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan